 |
OPINI ANAK HULU |
Urgensi
Atas Wacana Dihidupkannya
Kembali
GBHN Dalam Prespektif Demokrasi
Oleh:
Tomy Alfarizy
Munculnya
wacana dihidupkannya kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kini mendapat
respon dari berbagai pihak, ada yang setuju namun tidak sedikit pula yang tidak
setuju, bermula disaat pertemuan antara Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan pihak pemerintah yakni diwakili oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila
yang menghasilkan rencana tentang Amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan rencana memberlakukan kembali GBHN sebagai
sebuah panduan pembangunan nasional jangka
panjang.
Munculnya kembali wacana ini pada dasarnya atas alasan ketidak jelasan
arah pembangunan dalam skala nasional yang selama ini berlaku di Indonesia, seperti
yang kita ketahui bahwa, dalam hal panduan pembangunan nasional jangka panjang
selama ini diatur dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau yang
biasanya kita sebut dengan istilah (RPJPN) yang diatur secara jelas dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025, pada Pasal 3 UU No.7 Tahun 2007 tersebut menjelaskan
bahwa RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan
Nasional.
Lalu bagaiman sistem perumusannya hingga di sepakati sebagai point-point
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional? Pada dasarnya dalam
melahirkan Rancangan Pembangunan Jangka Panjang melalui beberapa tahap yakni, rencana pembangunan jangka panjang disusun oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Proses penyusunan tersebut melibatkan banyak
kalangan, dari akademisi, pengusaha, pemerintah dan orang-orang yang
mempunyai kapasistas dan integritas untuk membuat rencana pemangunan.
Sebelum mambahas lebih jauh Terkait wacana
dihidupnya kembali GBHN dalam presfektif Demokrasi, maka sebelumnya alangkah
lebih baik jika kita sama-sama ketahui terlebih dahulu tentang sejarah
pemberlakuan GBHN, pada masa Orde Lama dasar pemberlakuan GBHN ada pada TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Secara
terperinci dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) Menyatakan bahwa Garis-garis Besar
Pola Pembangunan masuk Pola Proyek yang dimuat dalam Rancangan Dasar
Undang-Indang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun 1961-1969
hasil karya Depernas yang termuat dalam Buku kesatu Jilid I, II dan III
pada umumnya sesuai dengan Amanat Pembangunan Presiden tertanggal 28
Agustus 1959 yang diucapkan maupun yang
tertulis dan pada umumnya sesuai pula dengan Manifesto Politik Republik
Indonesai yang telah diperkuat oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960. Dalam artian
jika dianalisa dari pasal ini, yang menjadi Garis Besar Haluan Negara Pada Masa
Orde Lama adalah berdasarkan pidato maupun tulisan Presiden yang itu sejalan
dengan manifesto politik Republik Indonesia
Pada masa orde baru konsep perumusan GBHN di
rumuskan oleh lembaga tertinggi negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
dijalankan oleh Presiden selaku mandataris MPR, dasar konstisusional dari hal
tersebut adalah terletak pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen yakni “Kedaulatan berada di tangan rakyat, an dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawarat Rakyat”, pada masa ini GBHN di susun setiap 5 tahun
sekali atau dengan bahasa lain yang sering kita dengar dengan Istilah (REPELITA).
Ada dua pertanyaan yang muncul dalam berbagai
diskusi public, yakni apakah hidupnya kembali GBHN ini nantinya dengan
formulasi baru atau malah masih menggunakan cara-cara yang sebelumnya. Karena
tentu keduanya memiliki konsekwensi yang berbeda jika memang pemerintah serius
ingin meregulasikan kembali terkait Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan
dalam sebuah panduan pembangunan nasional jangka panjang.
Membahas pertanyaan yang pertama yakni, apakah hidupnya kembali GBHN ini
nantinya dengan formulasi baru? Wajar kiranya jika pertanyaan ini muncul karena
sampai saat ini pemerintah belum memberikan gambaran secara jelas terkait
rencana dihidupkannya kembali GBHN sebagai panduan pembangunan nasional jangka
panjang, karena jika mengacu pada sistem lama maka tidak relevan untuk
dilaksanakan pada masa sekarang, hal itu dikarenakan tidak ada lagi lembaga
khusus yang mengakur tentang Panduan Pembangunan Nasional Jangka Panjang, pun
juga tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi negara yang dimana Presiden
merupakan mandataris MPR. Perlunya kesesuaian ini lah yang harus pemerintah
perhatikan, bisa jadi nanti GBHN hadir dengan catatan tidak ada lembaga
tertinggi negara sebagai perumusnya namun melibatkan seluruh lembaga negara.
Tentang pertanyaan kedua, pada dasarnya yang harus kita perhatikan adalah
paradigm konstitusi yang hari ini kita pahami, jika berkaca dari masa orde baru
tentu paradigm konstitusinya berbeda dengan sekarang, seperti apa yang tertera
dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen yakni “Kedaulatan berada di tangan rakyat, an
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawarat Rakyat” sehingga pada masa
itu Presiden adalah mandataris MPR selaku lembaga Tertinggi Negara, berbada
pada masa ini pradigma konstitusi yang dibangun adalah Presiden adalah
mandataris rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, dasar konstitusionalnya
jelas tertera pada pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yakni “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, Logika dasarnya adalah ketika nanti GBHN ini kembali
dihidupkan dengan sistem sebelum-sebelumnya maka akan dangat berbahaya, jelas
bahwa menciderai konsep kedaulatan rakyat yang selama ini kita pahami dalam konstitusi
kita, karena dalam sistem pemerintahan presidensil locus kekuasaan pada
dasarnya ada pada presiden yang sejatinya mendapatkan mandate secara langsung
oleh rakyat, persoalan yang akan muncul ketika GBHN ini kembali diberlakukan
namun dengan sistem yang sama seperti sebelum-sebelumnya yakni GBHN disusuna
oleh MPR maka tidak mungkin Presiden bisa menjalankan janji yang disampaikan
pada saat berkampanye di depan seluruh rakyat karena harus terikat dengan Garis
Besar Haluan Negara yang ditetukan oleh MPR.
Terkait ugensi GBHN dalam prespektif
demokrasi pada masa sekarang, maka sebenarnya adalah tidak terlalu penting
untuk selanjutnya harus dimunculkan kembali sebagai panduan pembangunan nasional jangka panjang. karena hanya akan menambah
persoalan baru dalam perdebatan konstitusi dikalangan masyarakat, sebagai
contoh apa yang sudah saya jelaskan diatas, kalaupun dengan formulasi baru yang
berbeda dengan sistem sebelum-sebelumnya maka alangkah lebih bijak seandainya
pemerintah fokus untuk memperkuat RPJPN sebagai pedoman pembangunan nasional
dalam jangka panjang, meskipun dirasa belum mampu menjawab berbagai persoalan
tentang fokus dari RPJPN itu sendiri yakni melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Keterangan: tulisan ini pernah sudah pernah dimuat di Borneonews.co.id
Komentar
Posting Komentar